Minangkabau Dalam Sejarah
Sejak dahulu orang Minangkabau adalah petarung yang andal .Bukti sejarah
menunjukan, pesilat minang merajai selat malaka dan negeri semenanjung
Malaysia.
Sama dengan 7 Daeng Bersaudara dari bugis , Daeng Celak dan saudaranya dan
orang mandailing atau Rao yang disebut orang rawa di Malaysia silih berganti
unjuk kebolehan.
Dinegeri Sembilan malah mereka dominan dan berasal usul dan menjadi pemilik
negeri itu dengan membawa adat istiadat dan suku yang diwariskan turun
temurun.
Selat malaka dikuasai oleh petarung dari Minang dan Bugis.
Foto: (UNESCO)
Pencak silat dari Indonesia berhasil masuk warisan budaya tak benda
UNESCO.
Kembali ke sejarah, tahun 683 M “Dapunta Hyang dari Minanga Tamwan
membawa bala tentara dua laksa (dua puluh ribu orang) menuju pelimpang
(Palembang) dan membuat wanua (kota)”.
Minanga ini menurut orang Palembang adalah Pasemah dengan Bukit Siguntang
Nahameru, sebagian sejarahwan Palembang mengatakan orang Palembang sendiri
yang melakukan ekspedisi militer, bukan sebaliknya, tetapi para arkeolog
(Purbacaraka yang sejarahwan Jawa, Westenenk sejarawan Belanda) menyatakan
bahwa yang dimaksud “MINANGA” adalah daerah antara pertemuan sungai Kampar
kiri dan kanan di perbatasan Sumbar, Riau dan Sumut.
Minanga adalah daerah Minangkabau Timur semasa Dapunta Hyang melakukan
ekspedisi militer dan mereka mendirikan kerajaan yang dinamakan
”SRIWIJAYA”.
Tahun 1275 M prajurit Singosari melakukan Ekspedisi Pamalayu dan
mengadakan persekutuan dengan Majapahit . Lalu dikirim dua Putri Melayu ke
Jawa yaitu Dara Petak dan Dara Jingga dari Kerajaan Darmasraya .
Dara Jingga diper-sunting Raden Wijaya dan dijadikan permaisuri utama,
lahirlah Jayanegara selaku pewaris Raja Majapahit yang ke 2.
Dara Petak, melahirkan Aditiawarman.
Gajah Mada yang bertekad ”Sumpah Palapa” dengan prajurit Jawa, Madura
dan Melayu Minangkabau dan Palembang membantu Jawa meluaskan kekuasaan ke
segenap penjuru Nusantara.
Aditiawarman kembali pulang ke Minangkabau dan mendirikan kerajaan baru yaitu
PAGARUYUNG.
Tetapi Majapahit berusaha melakukan invasi militer ke Pagaruyung pada
tahun 1300an dan dihadang di daerah dekat Sawah Lunto Sijunjung.
pertempuran PRAJURIT MAJAPAHIT dan minangkabau
begitu busuknya oleh mayat prajurit akhirnya dinamakan PADANG SIBUSUK .
MAJAPAHIT GAGAL DI TANAH MINANG.
Belanda tahun 1665 (VOC) dengan bantuan orang Bugis Makassar melakukan
tindakan militer di Padang, dan berperang dengan orang Pauh Minang .
PERANG TERUS-MENERUS SELAMA LEBIH 1 ABAD DENGAN PENDEKAR-PENDEKAR PAUH,
KOTO TENGAH, PARIAMAN, PAINAN DAN AIRBANGIS.
Perang skala menengah itu terjadi lebih dari 25 kali dari tahun 1665 hingga
1789 demi merebut kembali Padang, Pariaman, dan Painan dari tangan Belanda.
Abad ke 18. Paderi Islam fanatik berkuasa di pedalaman Minang tahun 1803,
Belanda bersekutu dengan kaum Adat untuk menyerang basis militer Paderi
tahun 1821.
Pecahlah perang yang berlangsung selama 24 tahun hingga 1845, sedang benteng
Bonjol pertahanan terkuat Paderi jatuh tahun 1837, perang
berlangsung 24 tahun yang merupakan SALAH SATU PERANG PALING BERAT BAGI
BELANDA SELAMA PERLUASAN KEKUASAAN DI NUSANTARA.
Ada 3 medan perang yang berat bagi Belanda Perang Aceh dari tahun 1873-1904
Perang Diponegoro tahun 1825 hingga 1830, yang memakan korban
15ribu tewas di pihak Belanda.
Perang Paderi di Minangkabau Tuanku Imam Bonjol dibantu Kaum Adat berpihak ke
Paderi, lalu pelaut Aceh, barisan Batak mandailing Islam di bawah kepemimpinan
Tuanku Rao, barisan Riau dipimpin Tuanku Tambusai, dan sebagian dari barisan
Sentot asal Jawa yang berpihak ke Paderi.
Belanda harus mengerahkan 25000 sampai 35000 dan 5 jenderalnya demi
menundukkan Minang-kabau yaitu Kom Jend Van Den Bosch (si tanam paksa), Letnan
Jend Riesz (jagoan perang Diponegoro), Jend Major Clearens (yang menangkap
Diponegoro) dan Jend major Coghius (panglima paling tinggi Angkatan Darat
Hindia Belanda) dan Jend Major Hendriks.
Jend Major Coghius, berhasil merebut benteng Bonjol tahun 1837, dan
perang masih berlanjut hingga tahun 1845 dengan Jend Major Hendriks
selaku pimpinan Militer.
Perseteruan Minangkaba-Bugis dalam menguasai Semenanjung menjadikan dua suku
bangsa ini sebagai tukang perang di Sumatera dan Malaysia selama abad ke 17
dan 18.
Di masa perjuangan kemerdekaan, orang Minang banyak yang telibat
perjuangan politik yaitu Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan H Agus Salim.
Agresi Militer Belanda I tanggal 21 Juni 1947, tentara RI di Minangkabau
justru berhasil menghadang laju perluasan wilayah di tiga front sekaligus,
yaitu
Padang luar kota daerah Kepala Datar, Siguntur Pesisir Selatan
Lubuk Alung di Padang pariaman.
Bahkan tanggal 27 Juni 1947 DI KEPALA DATAR DEKAT PABRIK SEMEN PADANG, TENTARA
BELANDA MENGALAMI KEHAN-CURAN MASSIF dan terpaksa kembali ke kota Padang
dengan sisa-sisa kekuatan.
Tanggal 18 Desember 1948 jatuhlah Jogja dalam tempo 4 jam dalam sebuah
penyerbuan.
Bukittinggi yang diserbu pada tanggal yang sama baru jatuh ke tangan
Belanda tanggal 24 Desember 1948 atau 6 hari sesudahnya .
Divisi XI Banteng dikomandoi Letkol Dahlan Djambek, Bukittinggi jatuh 4 hari
dengan upaya mati-matian Belanda lewat darat dan udara.
Di Jawa , Soekarno, Hatta dan Syahrir tertawan dan dibawa ke daerah
sekitar danau Toba dan Prapat karena dianggap aman dari serangan gerilyawan
Republik, ke Belanda .
Agresi Belanda I, Tentara RI di bawah komando Dahlan Djambek berhasil menahan
laju Agresi Belanda di tiga tempat. Tentara Belanda hanya mampu melaju sejauh
13 km dari pusat kota Padang,
Di dekat Indarung, daerah Kepala Datar, Belanda mengalami kekalahan telak dan
terpaksa kembali ke kota Padang dengan sisa-sisa kekuatan.
Mengarah ke kota Bukittinggi, tentara Belanda berhasil dihadang di wilayah
Pasar Usang, Padang Pariaman. Kapal terbang dan Tank baja Belanda tidak mampu
mendesak mundur tentara RI di Sumatera Barat, sementara Tentara Belanda dibuat
kucar kacir oleh taktik gerilya Tentara RI di Sumbar.
Peristiwa ini saat Agresi Belanda 1 menjadikan Sumatera Barat
satu-satunya wilayah perang di Indonesia dimana Belanda tidak mampu melaju
melebarkan penguasaan wilayah, sementara di Jawa, banyak wilayah
jatuh ke tangan Belanda. Kalimantan -Sulawesi dikuasai , Sumatera Utara
dan Sumatera Selatan hampir sepenuhnya juga terkuasai.
Di Sumatera Barat, Belanda gagal total dengan hanya mampu melaju sejauh 13 km
dari pusat kota Padang.
Sumatera Barat kemudian dijadikan alternatif Ibukota Negara
.Suliki;Payakumbuh.
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Lalu kenapa sewaktu PRRI tentara pusat APRI dengan mudah menaklukan Sumatera
Tengah ?
Pemberontakan PRRI adalah pemberontakan setengah hati yang sebenarnya
tujuannya hanya untuk" mengkoreksi"pemerintah pusat yang banyak
dipengaruhi komunis.
Orang Sumatera Barat adalah juga pejuang dan termasuk pendiri NKRI yang
diwakili Hatta, Syahrir,Mohammad Yamin dan Agus Salim dan puluhan tokoh
lainnya .
Kekalahan itu ternyata cukup melukai perasaan orang Minang karena mereka
tersisih dari pemerintahan dan menjadi anggota tentara .
Dikutip sepenuhnya dari Quora Indonesia,tulisan Sayid Sani yang tinggal
di Sumatera Barat ,menulis "Dewan Banteng " sebagai inisiator PRRI di Sumatera
Tengah (meliputi Sumatera Barat, Riau dan Jambi sekarang) hanya mendesak
pemerintah ketika itu untuk melakukan pemerataan pembangunan yang terkesan
hanya terpusat di Pulau Jawa. Karena reaksi dari pemerintah pusat terkesan
lamban, oleh karena itu PRRI diinisiasi untuk mengambil alih hasil
perekonomian di Sumatera Tengah untuk pembangunan di Sumatera Tengah saja.
Itulah mengapa disebut sebagai "Revolusioner".
Dan ternyata, kata "Revolusioner" ini disalahartikan oleh
pusat.
Ada pesan/surat yang tidak sampai ke tangan Presiden yang
dikirimkan oleh Ahmad Husein. Sabotase tersebut berujung
kepada maklumat penumpasan.
Terlebih ketika PRRI sadar bahwa gerakannya dimanfaatkan oleh
CIA. Misal, seperti sabotase kilang minyak di Dumai dengan
skenario jika berhasil, satu detasemen khusus marinir Amerika
akan masuk mengamankan dari Singapura. Juga pengiriman senjata
baru yang di drop di Teluk Bayur.
Namun, sebagian besar senjata-senjata baru yang di drop itu
pada akhirnya memang tidak pernah terpakai. Sebagian besar
anggota PRRI juga memilih menghindari tentara pusat. Bisa
ditelusuri, tidak banyak kontak senjata yang terjadi.
Anggota PRRI sadar pemerintah pusat salah paham dan bereaksi
terlalu berlebihan. Lalu, ditengah salah paham tersebut apakah
ada gunanya pertumpahan darah??? Kira-kira pikiran seperti
itulah yang terlintas pada banyak anggota PRRI. ***
Komentar
Posting Komentar