Penonton Bayaran Minta Dibolehkan 'Ngalay' Lagi.

Sudah 8 Bulan Libur, Penonton Bayaran Minta Dibolehkan 'Ngalay' Lagi.


Anisa Indraini - detikFinance

Minggu, 11 Okt 2020 20:15 WIB

Ilustrasi Penonton Konser Musik di Konser The Chainsmokers di Jakarta. Foto: Hanif Hawari


Jakarta - Penonton bayaran salah satu pekerjaan yang terdampak pandemi Corona (COVID-19). Sejak Maret lalu virus tersebut masuk Indonesia, seluruh stasiun televisi (TV) memutuskan untuk tidak memakai jasa yang kerap disebut 'penonton alay' itu.


Yulia Putri (35), salah satu penonton bayaran yang sudah kangen 'ngalay' lagi. Dia berharap agar stasiun televisi dengan segala pertimbangan tetap memakai jasa penonton bayaran, agar dirinya dan teman seprofesinya bisa mendapat penghasilan untuk memenuhi kebutuhan.


"Libur jadi penonton sudah 8 bulan masuk Oktober ini. Harapannya jangan sampai di cut lah penontonnya, jadi kita nggak yang putus-putus banget rezekinya," kata Yuli saat berbincang dengan detikcom, Kamis (8/10/2020) lalu.


Menurutnya, para penonton bisa mematuhi protokol kesehatan selama bekerja. Dia juga tidak masalah jika harus dibatasi penontonnya dan diterapkan bergilir, asalkan masih tetap ada pemasukan dari jadi penonton bayaran.


"Ya okelah Corona kita harus pakai masker, kenapa nggak kita nonton duduk pakai face shield, artisnya juga pakai face shield. Menurut aku dipikirin juga kayak penontonnya, atau digilir gitu hari ini berapa orang," harapnya.


Harapan yang sama juga dikatakan oleh penonton bayaran lainnya, Dimas Satrio (28). Dia berharap agar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Jakarta segera dicabut agar stasiun TV mengadakan penonton lagi.


"Cepat kelar lah PSBB ini supaya stasiun TV mengizinkan buat ada penonton lagi. Sekarang siapa yang nggak pengin cepat kelar, orang sudah pada susah semua, nggak cuma aku, semuanya. Kata stasiun TV-nya kalau PSBB kelar bakal ada lagi," ucapnya.


Sebagai yang mengoordinatori penonton bayaran, Niatul Husna menyebut sudah banyak anak-anaknya yang kangen ingin syuting lagi.


"Semoga pandemi segera berakhir, anak-anak syuting lagi karena kita kan sudah biasa dari pagi ketemu pagi, sudah rutinitas nggak ada libur, penginnya sih mulai lagi," tuturnya.

(dna/dna)


https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5209310/sudah-8-bulan-libur-penonton-bayaran-minta-dibolehkan-ngalay-lagi





Begini Cara Atur Duit untuk Pekerja Serabutan Seperti Penonton Bayaran.


Anisa Indraini - detikFinance

Minggu, 11 Okt 2020 21:31 WIB

Jakarta - Virus Corona (COVID-19) mengancam keuangan masyarakat, terlebih mereka sebagai pekerja lepas seperti penonton bayaran. Pasalnya mereka tidak terikat dalam satu perusahaan, selama pandemi ini juga tidak dibutuhkan dan otomatis tidak dapat penghasilan.


Perencana Keuangan dari Advisors Alliance Group Indonesia, Andy Nugroho menyarankan agar masyarakat yang berpenghasilan sebagai pekerja lepas seperti penonton bayaran harus lebih disiplin dalam mengelola keuangan.


"Artinya ketika sedang banyak order, mereka harus lebih disiplin dalam menabung dan menyiapkan dana daruratnya, dibandingkan dengan yang mereka belanjakan untuk konsumsi," kata Andy kepada detikcom, Kamis (8/10/2020) lalu.


Saat kondisi sedang tidak ada job seperti saat ini, tabungan yang ada harus digunakan sebaik-baiknya. Jika tabungan pun sudah habis, maka disarankan untuk banting setir mencari penghasilan baru.


"Hal yang harus dilakukan adalah banting setir mencari penghasilan tambahan ataupun mencari pemasukan baru, bisa itu dengan cara berbisnis ataupun bekerja di tempat yang lainnya," tuturnya.


Untuk saat ini disarankan agar mengeluarkan uang hanya untuk kebutuhan yang bersifat wajib seperti membayar tagihan, hingga kebutuhan makan. Tidak disarankan untuk membeli hal-hal yang bersifat keinginan semata.


"Disarankan lebih pada untuk pembayaran kewajiban dan kebutuhan sehari-hari seperti pembayaran cicilan utang atau kredit, tagihan listrik dan air, serta kebutuhan lainnya seperti uang sekolah anak beli kuota, biaya transport dan lain sebagainya. Yang sebaiknya tidak dikonsumsi adalah hal-hal yang lebih bersifat keinginan dibandingkan kebutuhan," sarannya.


Hal yang sama juga dikatakan oleh Pengamat Perencana Keuangan, Eko Endarto. Menurutnya, masyarakat yang pekerjaannya terdampak pandemi harus mencari sumber penghasilan lain dan tidak hanya bergantung pada satu sumber.


"Kalau memang sama sekali nggak ada penghasilan maka kuncinya harus mencoba mencari penghasilan dan tidak hanya bergantung satu sumber aja," tandasnya.

(dna/dna)




Duka Penonton Bayaran Kala Pandemi: Diusir dari Kontrakan Tanpa Bantuan


Anisa indraini - detikFinance


Senin, 12 Okt 2020 05:35 WIB

 Foto: Dimas Penonton Bayaran/Anisa Indraini-detikcom



Jakarta - Penonton bayaran kehilangan pekerjaan selama pandemi virus Corona (COVID-19). Pasalnya, selama pandemi seperti sekarang stasiun televisi (TV) memutuskan untuk tidak memakai jasa mereka.

Penonton bayaran bernama Dimas Satrio (28), tidak bisa bayar kontrakan sejak Maret. Untungnya pemilik kontrakan berbaik hati karena sudah kenal secara personal, sehingga diperbolehkan tetap tinggal sambil bayar dicicil.


"Bayar kontrakan belum bisa sama sekali dari bulan Maret. Ditagih sama pemiliknya begitu doang 'sudah ada belum sih', 'yah belum ada' terus katanya 'yaudah ntar aja' gitu. Nggak nagih, cuma nanya doang sudah ada belum. Kadang bayar kalau lagi ada duit Rp 100 ribu yaudah bayar segitu, kalau ada Rp 200 ribu bayar, kalau ada Rp 300 ribu bayar," tuturnya saat berbincang dengan detikcom, Kamis (8/10/2020) lalu.


Dimas lebih beruntung dari temannya yang tidak sedikit harus diusir dari kontrakan karena tidak bisa bayar. Nasib teman seprofesinya ada yang harus balik ke kampung, hingga ada yang diangkut Dinas Sosial karena berkeliaran di jalan tidak punya tempat tinggal.


"(Teman yang lain) ada yang pulang kampung. Ada yang sampai diangkut Dinas Sosial jadi gembel di Mampang, jadi dia berkeliaran tidur di trotoar gitu akhirnya diangkut. Sekarang sudah keluar, sampai satu bulanan akhirnya ada yang ngambil dari stasiun TV kalau nggak salah, pokoknya sekarang sudah keluar, sudah mulai benar kayak dagang-dagang gitu," ucapnya.


Sebagai koordinator penonton bayaran, Niatul Husna membenarkan hal tersebut. Kemudian ada juga yang menjadi buruh cuci, ojek online, hingga berjualan dengan buka lapak dan secara online.


"Ada yang masuk Dinas Sosial karena orangnya agak-agak juga, terus ketangkap di jalan masuk Dinas Sosial. Terus jadi kuli cuci, ojek online, dagang, banyak lah tapi lebih banyak yang jualan online, diusir nggak bisa bayar kontrakan, banyak yang kayak gitu makanya pada pulang ke rumah orang tua masing-masing," tuturnya.


1. Jualan Rempeyek hingga Jual Motor


Dimas sebagai anak sebatang kara di Jakarta harus putar otak mencari pekerjaan lain agar tetap bisa bertahan hidup. Sejak tidak menjadi penonton bayaran, dirinya hanya di rumah sambil berjualan makanan secara online yang dibuatnya sendiri. Dia juga meletakkan dagangannya di warung-warung tetangga untuk dijualkan.


"(Sekarang) di rumah saja, jualan makanan kayak ceker mercon, rempeyek, gitu-gitu lah bikin sendiri, emang suka masak. Kalau rempeyek nunggu ada pesanan, tapi nyetok juga kayak di warung-warung aku naro. Nggak setiap hari sih kayak satu minggu sekali, sepuluh hari sekali, baru naro gitu di warung tetangga," jelasnya.


Meski begitu, hasilnya dinilai jauh berbeda dengan pendapatannya saat menjadi penonton bayaran. Jika dari penonton bayaran bisa mendapat Rp 150.000 per hari, dari jualan dirinya hanya dapat Rp 30.000 sampai Rp 40.000 per hari.


"Dulu pas jadi penonton bayaran 1 program Rp 50.000, satu hari bisa Rp 150.000. Sekarang penghasilan dari jualan cuma buat muter saja setiap hari, buat makan kayak gitu-gitu saja," ucapnya.


Penonton bayaran lainnya, Yulia Putri (35) sudah menjual barang-barang berharganya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Terbaru, dia menjual motor untuk bayar kontrakan hingga memenuhi kebutuhan 2 anaknya.


"Kalau untuk makan saya banyak teman, teman banyak yang bantu. Cuma kalau kontrakan itu yang paling berat sih. Sekarang masih bisa cuma agak telat bayarnya, bayarnya juga nggak full karena ibu kost-nya nggak mau ngerti. Saya bilang 'yaudah saya bayar tapi nggak bisa full nanti kalau sudah kerja saya ganti kekurangannya'. Sudah banyak juga barang yang dijual, aku terakhir kemarin jual motor karena buat kontrakan, buat anak juga, yang ada itu dulu," imbuhnya.


Kini dirinya hanya mengandalkan gaji dari suami yang bekerja serabutan. Yulia sebenarnya sempat berjualan rempeyek seperti Dimas, namun terpaksa harus berhenti di tengah jalan karena sepi tidak ada yang membeli.


2. Tidak Dapat Bantuan


Yulia mengaku tidak tersentuh bantuan satupun dari pemerintah. Mulai dari Program Keluarga Harapan (PKH), program kartu sembako, Bantuan Subsidi Upah (BSU), hingga Kartu Prakerja.


"Nggak dapat bantuan apapun," kata Yuli.


Dia menyebut sudah mencoba daftar Kartu Prakerja, dengan harapan agar mendapat bantuan karena memang ditujukan untuk masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Namun nyatanya, dirinya gagal terus sampai gelombang 10 berakhir.


"Kartu Prakerja sudah nyoba gagal mulu dari gelombang pertama, nggak tahu kenapa," ucapnya.


Penonton bayaran lainnya, Dimas lebih beruntung karena dapat bantuan sosial (bansos) berupa sembako dari RT setempat setiap bulan. Bantuan tersebut dinilai sangat membantu untuk stok makannya selama satu bulan yang hidup seorang diri.


"Untungnya kebantu sama beras bansos dari RT setiap bulan. Bansos doang dapatnya," tuturnya.


Dimas pun mengaku sudah coba daftar Kartu Prakerja dari gelombang 1-10 namun juga tak kunjung lolos sebagai peserta.


"(Kartu Prakerja) nggak diterima-terima, sudah nyoba dari gelombang 1 sampai 10 nyoba terus nggak keterima-terima aku juga bingung. Sudah sempat nyoba ngehubungin (Kartu Prakerja), cuma harus kemana lagi, dioper lagi kemana gitu, nggak ngerti deh," jelasnya.***




Suka Duka Penonton Bayaran: Kenal Artis tapi Harus Rela Tidur di Emperan.


Anisa Indraini - detikFinance

Minggu, 11 Okt 2020 16:13 WIB

Jakarta - Menjadi penonton bayaran sering dilihat dalam layar televisi (TV). Mereka ditugaskan untuk meramaikan suasana dengan bersorak-sorak hingga bertepuk tangan.


Itulah yang disukai oleh penonton bayaran bernama Dimas Satrio (28). Dia mau menjadi penonton bayaran karena selama bekerja tidak perlu berpikir keras dan bisa mengenal pribadi artis secara dekat.


"Sukanya awal-awal kerja begini ketemu artis, orang awam tuh girang (senang) ketemu artis. 'Oh dia aslinya begini, ada yang ketemu oh dia ternyata sombong ya' gitu-gitu jadi kita tahu. Udah gitu gampang cuma tepuk-tepuk (tangan) doang kita dapat duit," kata Dimas saat berbincang dengan detikcom, Kamis (8/10/2020) lalu.


Lagi pula, menurutnya bayarannya sama saja dengan pekerja kantoran biasa yang bergaji setara UMR. Dirinya bisa mengantongi Rp 150 ribu per hari dari hasil keliling jadi penonton bayaran di 3 program stasiun TV.


"Karena sebenarnya penonton bayaran itu gajinya sama saja kayak UMR, cuma dapatnya per hari. Kalau pekerja kan dapatnya per bulan, jadi sama saja. Sudah gitu nggak banyak aturannya, nggak usah pakai seragam-seragam. Siapapun bisa jadi penonton bayaran, sampai yang ibu-ibu sudah berumur juga bisa, nenek-nenek bisa, tergantung acaranya ada yang ngambil anak muda, ada yang acaranya ngambil seluruh umur," jelasnya.


Sedangkan dukanya harus rela pulang sampai larut malam bahkan pagi, terlebih saat bulan puasa untuk acara sahur. Dimas yang sudah 11 tahun berkecimpung jadi penonton bayaran menceritakan bahwa ada ibu-ibu yang sampai membawa koper berisi baju, untuk kemudian menginap di emperan stasiun TV tersebut. 


Hal itu dilakukan untuk mengirit ongkos transportasi, biasanya orang seperti itu hanya sebagai pendatang khusus untuk program bulan Ramadhan.


"Kalau lagi ada acara sahur itu ada ibu-ibu yang nggak pulang ke rumah, tidur di emperan kantor stasiun TV-nya bawa baju, bawa koper, pulangnya Sabtu-Minggu karena dia sudah dapat jadwalnya itu pokoknya dia sampai sahur. Jadi dia nggak pulang lagi karena rumahnya jauh," ujarnya.


Penonton bayaran lainnya, Yulia Putri (35) menambahkan bahwa duka menjadi penonton bayaran yakni terlalu lama menunggu. Pasalnya, penonton bayaran harus bersiap 3-4 jam sebelum acara dimulai. Terlebih saat acara untuk rekaman (tapping), biasanya proses syutingnya lebih lama karena harus menunggu artisnya datang dan tidak jarang adegannya terus diulang.


"Kadang-kadang ada acara baru, namanya belum tayang di TV kadang-kadang acaranya lama selama-lamanya, bisa dari pagi ketemu pagi karena cut-cut terus, sebenarnya sih capek nunggunya kadang-kadang lama, kadang kan kalau acara tapping gitu artisnya datangnya lama, ngaret. Kalau live sesuai jadwal cuma misalkan acara jam 12.30 WIB, kita harus standby jam 11.00, jam 10.00 karena kan kita sistemnya absen," tuturnya.



Meski begitu, Yuli menilai bahwa duka menjadi seorang penonton bayaran tidak sebanding dengan sukanya. Pasalnya menjadi penonton bayaran tidak perlu berpikir, justru malah dihibur dan dibayar.


"Sukanya itu hiburan, pasti hiburan, apalagi kalau acaranya itu happy, yang lain lihat di TV sama apa yang kita lihat langsung itu beda jadi kita ngerti sosok ini begini, banyak teman, banyak pengalaman. Lebih banyak sukanya sih karena kerjanya nggak mikir, cuma disuruh ketawa, tepuk tangan, gitu doang sih enak," imbuhnya.


Awalnya, Yuli menjadi penonton bayaran karena dua tahun yang lalu merasa tidak ada pekerjaan lain. Dirinya saat itu merupakan korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan diajak oleh temannya yang sudah lebih dulu menjadi penonton bayaran.


"Aku baru 2 tahunan (jadi penonton bayaran). Diajak sama teman yang jadi penonton bayaran juga, dulu aku SPG di Blok M karena di PHK jadinya diajakin karena memang nggak ada kerjaan lain," tandasnya.


(dna/dna)


[12/10 12:47] MRAMID: https://www.facebook.com/194850607236481/posts/3389488011106042/?app=fbl

[12/10 13:29] MRAMID: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5209101/mengenang-masa-jaya-penonton-alay-bayaran-sebelum-pandemi

Mengenang Masa Jaya Penonton 'Alay' Bayaran Sebelum Pandemi


Bisa dapat 4.5Juta perbulan


- detikFinance

Minggu, 11 Okt 2020 15:14 WIB

 Foto: Reno Hastukrisnapati Widarto



Jakarta - Penonton bayaran sebelum ada pandemi virus Corona (COVID-19) sangat eksis di layar kaca televisi (TV). Tugasnya yang dinilai tidak memerlukan banyak tenaga dan pikiran, dipilih sejumlah masyarakat sebagai pekerjaan tetap untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah.


Penonton bayaran bernama Dimas Satrio (28) mengatakan penghasilannya sama seperti pekerja kantoran yang bergaji setara UMR. Saat masih jaya sebelum ada Corona, dirinya bisa mendapat Rp 150.000 per hari dari jadi penonton di 3 program stasiun TV setiap Senin-Jumat. Jika diakumulasikan selama satu bulan, setidaknya dirinya mengantongi Rp 4,5 juta.


"Dulu pas jadi penonton bayaran 1 program Rp 50.000. Satu bulan bisa Rp 4,5 juta. Dibayarnya harian oleh koordinatornya, per program, satu hari bisa 2-3 program," kata Dimas saat berbincang dengan detikcom, Kamis (8/10/2020) lalu.


"Jaman dulu 2009 itu bayaran Rp 12.000, Rp 15.000, Rp 17.500, sampai akhirnya sekarang Rp 50.000. Bayarannya tergantung kayak ada kelas-kelasnya gitu, jadi ada callingan cantiknya, ada yang brewekannya itu yang ramai gitu, terus ada callingan yang biasa-biasa saja.


 Kalau aku masuknya yang cerewet, berisik, bawel. Kalau yang biasa saja Rp 25.000 sampai Rp 35.000, kalau cerewet-cerewet sama kayak callingan cantik Rp 50.000," jelasnya.


Dari jadi penonton bayaran, lulusan SMK perkantoran itu mengaku bisa membeli motor, hingga alat elektronik untuk di dalam rumah seperti kulkas, TV, bahkan ada sisanya untuk ditabung.


"Motor bisa sampai lunas. Pokoknya untuk kebutuhan di dalam rumah bisa lah, kulkas, TV, itu bisa kebeli semua. Bisa nabung kalau orangnya hemat banget mah bisa," ucapnya.


Sedangkan penonton bayaran lainnya, Yulia Putri (35) sebagai ibu rumah tangga mengaku bisa melengkapi kekurangan dapur. Dirinya bisa membeli kebutuhannya dan kedua anaknya tanpa meminta dari suami, sedangkan sisanya tak lupa untuk ditabung.


"Kalau aku kan masuknya ke ibu rumah tangga, alhamdulillah selama jadi penonton aku bisa beliin kekurangan dapur, bisa beli buat aku pribadi, baju aku, make-up aku, bisa beli barang yang aku pengin, buat anak-anak bisa nabung," kata Yuli.


"Lumayan kalau aku seharian full dari pagi sampai malam itu Rp 100.000 lebih pun bisa. Dari situ itu masih bisa kita kumpulin kalau aku ikut full dari pagi ketemu malam, karena acara pasti banyak. Sehari bisa 4-5 program, bayarannya per program beda-beda, ada yang dapat Rp 30.000, Rp 25.000," tuturnya.


Namun kejayaan penonton bayaran itu tinggalah kenangan. Pasalnya, selama pandemi ini mereka tidak bisa mendapat penghasilan seperti itu lagi dari penonton bayaran. Sejumlah stasiun TV kompak tidak memakai jasanya lagi selama pandemi.


"Sekarang mah hadeh, pendapatan dari penonton benar-benar hilang," keluhnya.


(Anisa Indraini/dna)


https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5209101/mengenang-masa-jaya-penonton-alay-bayaran-sebelum-pandemi


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Budaya Jepang dan Amerika

13 Cerita Anak-anak yang Menyenangkan Dari Seluruh Dunia

PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI DAN PERANAN MAEDA