27.Natuna: Tempat Persembunyian

Gunung Ranai sebenarnya gunung yang indah.

Kegagahan gunung dapat dilihat dari dengan banyaknya rerimbunan batang-batang pohon besar yang ada didalamnya.

Bunuh itu memang banyak pohon besar, tapi juga bukan gunung vulkanik. Tidak ada asap atau lubang lava di atasnya.

Puncak Gunung menjulang dengan awan yang sering menutupi  diatasnya.

Lebih dari 1.OOO M dari permukaan laut. 

Meskipun gunung ini tak terlalu tinggi akan tetapi posisinya yang  berada di tengah laut betul betul tampak luarbiasa. Megah dan anggun.

Ketika berjalan mendakinya sedikit, mereka merasakan hempasan angin yang kuat. Angin itu membuat langkah mereka tertatih tatih ketika mendaki.

Hujan mulai turun meski tidak lebat, membuat mereka kedinginan. Tubuh basah kuyup. Pakaian Sheyna dan Ednovokia mencetak bentuk tubuh mereka yang putih dan mulus.

Sheyna tidak asing lagi mendaki bukit bukit yang tinggi di Rusia bahkan jauh ebih dingin lagi. Tapi angin disini lebih kuat. Di Rusia angin juga kuat, Namun mereka berlindung didalam rumah atau tempat peristirahatan. Disini  mereka harus mencari tempat perlindungan.

Mereka melihat dipuncak gunung. Banyak bebatuan raksasa yang berjejer seperti mengucapkan selamat datang.

Bisa jadi, batu batu itu  menyambut mereka dengan angkuh.
Batu granit raksasa yang se olah olah tersusun rapi. Melihat juga   tiga puncak gunung.

Tun Awang pernah mendaki sampai kepuncak. Puncak gunung Datuk Panglima,  Puncak Srindit, dan juga Puncak Erik Samali. 

Gunung untuk mencapainya membutuhkan tenaga ekstra. Rerimbunan batang-batang pohon besar dan akar akar pohon menjulai sampai kebawah.

Gunung itu memang  bukan gunung vulkanik. Tidak ada asap atau lubang lava di atasnya. Namun awan sering menutupi  diatasnya. Mereka hanya mendaki tidak terlalu tinggi. Dari atas, tampak  laut dan pantai Natuna.

Mereka melihat  kapal perang Jepang masih terlihat  berlabuh. 

Angin berhembus  semakin kuat, dan  mereka merasakan hempasan angin yang  membuat langkah mereka  tertatih tatih. Mereka berjalan dengan pelan.

Hujan mulai turun membuat tubuh mereka. Semuanya basah kuyup. Baju kedua gadis itu mencetak lekuk lekuk tubuh menempel kulit.

Sheyna tidak asing lagi mendaki bukit bukit yang tinggi.  Di Rusia bahkan lebih dingin lagi. Angin juga berhembus dengan kencang. Namun sekarang suasananya berbeda.

"Banyak batu raksasa yang berjejer, apakah itu tidak bisa jatuh?" pikir Sheyna.

"Mungkin sejenis keajaiban." Dia menjawab sendiri dalam hati.

Memang dipuncak bebatuan besar yang berjejer seperti mengucapkan selamat datang.

Atau juga  bisa jadi menyambut mereka dengan angkuh.

Sekarang mereka akan bermalam dimana kalau malam sudah tiba? Apakah nanti mereka akan menemukan?

Mereka terus berjalan dan jalan makin makin menyempit dan curam dengan kemiringan yang tajam.

Mereka harus melewati batu sebagai pijakan mencari akar atau  batang pohon yang melintang di tengah jalan pendakian. 

Hujan turun membuat jalan menjadi lebih licin. Sulit sekali untuk bergerak. Mereka sudah kelelahan.

Sheyna melihat benda hitam menempel ditubuhnya. Semula ia mengira itu cuma kotoran lumpur.

"Apa ini, binatang pemakan darah?" 

Sheyna memencetnya benda hitam dikaki mereka mengeluarkan darah segar.

"Tolong aku," seketika itu dia berteriak dengan ketakutan.

Ednovokia juga berteriak teriak minta tolong karena banyaknya benda hitam di kakinya.

"Lintah." Ujar Tun Awang.

Ia melepaskan lintah hitam  dari kaki putih gadis itu yang terbuka. 

Menempel dimana mana, gadis Rusia itu menahan malunya membuka paha mulus mereka.

Kedua lelaki itu memeriksa, membuangnya dengan ranting atau tangan. Agak susah juga ketika melengket. Sekarang tidak ada lagi.
 
"Mereka bisa merayap keseluruh tubuhku," Sheyna membayangkan sampai ke bagian intimnya.

Ia merasa ngeri karena lintah akan terus menggigit ditempat yang basah.

Gigitan binatang itu semula tidak terasa. Namun ketika melihatnya terasa ngeri dan menjijikan.

"Tidak berbahaya." Tun Awang menghilangkan kekawatiran para gadis.

"Lintah kerap terbawa air dan menempel ke kulit," sambungnya lagi

 Di pakaian Tun Awang dan Nazarev juga, dan mereka melepaskannya dengan dari badan mereka.

Beberapa ekor burung terbang diatas. Tun Awang melihat keatas.

" Elang ular." ujar Tun Awang.

Sheyna bergidik mendengar namanya.

Di hutan dan di ketinggian itu mereka bertemu hewan yang disebut Tun Awang sebagai Elang Ular.

Setelah itu mereka juga melihat Kekah, yaitu sejenis monyet kecil Natuna yang lucu. Begitu lucunya sehingga binatang kecil itu  terlihat seperti memakai mantel bulu yang indah.

Turun lebih sulit karena  harus bergerak mundur sambil berpegangan pada akar pohon atau batu.

Jalur pendakian terlalu curam bila dilalui tanpa alat bantu. 

Disebuah kelokan mereka terhenti karena dua ekor Kekah di atas dahan. Mereka  bergerak lincah dari pohon  ke pohon lain. 

"Kekah natuna adalah hewan asli yang cuma ada disini." Ujar Tun Awang.

"Binatang yang lucu." Disamping ketegangan,  mereka juga merasa  terhibur melihat tingkah  hewan endemik Pulau Natuna Besar. 

Disamping itu mereka melihat beberapa ekor burung besar terbang melayang mengelilingi mereka. Itu bukan burung gagak pemakan bangkai, tapi lebih besar lagi.

 "Elang ular." kata Tun Awang menyebut nama hewan itu ketika kedua gadis memperhatikan 

Seekor burung yang memiliki kepala yang tampak besar dengan bulu panjang di bagian belakang. 

Burung kuning dengan kaki yang kuat tidak berbulu dan bersisik berat. 

Mereka terbang di atas mereka  dengan sayapnya yang  lebar dan ekor  lebar putih dan hitam. 

Mereka berbunyi seperti panggilan nada telepon dua tiga nada yang yang keras.

"Mereka sering memakan ular, karena itu disebut elang  ular." Kata Tun Awang.

Lalu mereka terus berjalan.

"Lihat ada ceruk batu, ada goa didalamnya." Kata Naxarev.

"Cuma muat dengan merangkak, " tambah Nazarev setelah meneliti lebih jauh.

"Didalamnya cukup luas, tapi harus dibersihkan dulu!!"

Alangkah senangnya hati mereka menemukan sebuah goa yang ternyata dilihat Tun Awang cukup besar didalamnya.

"Seperti rumah, kita bisa beristirahat disini."

"Menjadi manusia goa."'Nazarev masih sempat ingin bercanda.

"Robert Crosoe Natuna." Ednovokia membalas candaan Nazarev .

Mereka berteduh di atas ceruk batu gunung. Dari atas batu, terlihat  pantai  dan laut.  Kapal perang Jepang, meski tidak begitu jelas, karena udara masih  mendung. 

Mereka memeriksa sekali lagi hewan hewan penganggu. Membersihkannya. Ada beberapa burung kecil yang terbang dari dalamnya. Mereka memastikan tidak ada ular.

"Pertama tama kita membuat api, kita jaga agar tidak padam." 

"Membuat api sulit, kalau pemantik api tidak berfungsi."

'"Bagaimana dengan asap?" sela Ednivokia.

"Itu yang akan kita jaga, ada mata air kecil dibawah dekat ini, saya melihatnya tadi mungkin mata air atau sungai bawah tanah."

Membuat api menghangatkan badan. Dan juga bisa memasak dengan alat yang mereka bawa.
Ada pohon kering di dekat itu memudahkan mereka membuat api, ranting pohon.

Hujan sudah berhenti. Sebelum malam, Tun Awang keluar mencaru beberapa dahan kayu penyangga dan ranting  serta pohon kering untuk bakaran selanjutnya.

"Baju kamu tidak diganti?" Tanya Nazaew.
"Dibiarkan saja, api menghangatkan  dan pakaian bisa kering." Jawab Ednovokia.

Tapi Sheyna melepas pakaian atasnya, menggantinya dengan pakaian kering. Ia juga melepas branya setelah memastikan kedua lelaki itu tidak melihatnya.

Nazarev dan Awang duduk membelakangi. Gadis itu memakai baju dan tanpa bra duduk dekat api menghangatkan badan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Budaya Jepang dan Amerika

13 Cerita Anak-anak yang Menyenangkan Dari Seluruh Dunia

PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI DAN PERANAN MAEDA