29 Natuna : Jepang Pergi
Kapten Matsubara yang banyak bicara itu tidak berkeberatan jika Kapten Demidov dan Datuk Kaya berbicara  banyak.
"Mengapa anda Jepang menjajah negeri ini? Apakah itu baik?" Tanya Kapten Demidov.
Kapten Matsubara tetawa sampai perutnya berguncang.
"Amerika yang membuat kami seperti ini." ujarnya menghentikan tawanya.
"Pada tahun 1800 an  mereka datang ke Jepang dan memaksa kami menerima mereka."
"Tapi Amerika tidak menjajah Jepang..!" Bantah Kapten Demidov. Namun Kapten Matsubara terus berbicara.
"Banyak para shogun yang terbunuh, pada saat itu kami sadar, bahwa ada senjata yang lebih hebat dari keahlian tempur kami. Itu senjata api, butuh waktu yang panjang bagi kami belajar dengan cepat." 
"Jadi kami membalas mereka. Apakah orang Asia tidak bisa seperti orang Eropah? Kami bisa lebih baik.! Sekarang orang kulit putih bisa melihatnya."
Kapten Matsubara menghentikan percakapan mereka.
"Sayang sekali, kami harus pergi, hari ini kalian bebas. Tapi ingat, kalian harus tetap di Natuna."
Ia memerintahkan untuk mengumpulkan semua tawanan Rusia.
Tangannya yang terikat satu sama lain dilepaskan.
Ia mengulangi lagi kata katanya didepan semua pelaut.
"Kalian semua harus  disini.Tidak ada yang boleh pergi sebelum diizinkan." Ujar Kapten Matsubara dengan tegas.
Persiapan mereka sangat cepat. Perbekalan diisi ke kapal perang mereka.
Kapten Matsubara melihat semua. persiapan anak buahnya. 
Pada sore hari, kapal Jepang mengambil jangkar  dan segera menghilang di laut. 
Mereka pergi setelah membebaskan para pelaut Rusia. Banyak beras dan bahan pokok orang Natuna yang diambil oleh Jepang.
Mereka meninggalkan tempat itu.
"Ini sebagian bisa jadi markas kita, katena orang Belanda tidak ada lagi," kata salah seorang pelaut.
"Hanya untuk tinggal, tak bisa berladang," seorang pelaut Rusia yang  hobinya bertanam tidak setuju.
"Markas ke dua," putus Kapten Demidov.
"Tentunya dengan izin Datuk," Kapten Demidov melirik Datuk Kaya.
Tentu saja Datuk tidak berkeberatan. Senyum kecil Datuk menggembirakan Kapten Demidov.
Tak dapat dibayangkan betapa susahnya para pelaut. Namun mereka  senang. Jepang telah pergi. Orang melayu Natuna juga.
Mereka para pelaut saling berpelukan dengan mata basah, meski masih sangsi, bagaimana jika Jepang itu kembali?
Kini mereka harus memberitahu semua penduduk dan juga Tun Awang serta para pelaut Rusia yang melarikan diri. Nazarev, Ednovokia dan Sheyna. 
Mereka sudah boleh kembali kekampung dan pelaut Rusia kembali  kerumah Limas tempat mereka sebelumnya. 
Orang Melayu Natuna  berusaha dengan segala cara untuk membantu para pelaut Rusia, setidaknya dengan cara tertentu untuk meringankan nasib mereka. 
Kegembiraan para pelaut dan penduduk melayu Natuna.
"Kita harap besok semuanya kita sudah terkumpul dan hidup kembali seperti biasa." Kata pelaut.
Namun ada kecemasan, karena Jepang itu mengatakan akan kembali.
Datuk kembali kekampung, dan mengabarkan berita itu kepada semua penduduk.
"Dimana Tun Awang?" Tanya Datuk.
"Mereka lari ke hutan, bersama orang Rusia itu."
"Besok kita mencari mereka, mengabarkan hal ini. Mereka sudah aman." kata Datuk.
Anak buah Datuk dan orang melayu Natuna akan mencari. Begitu juga penduduk yang mengungsi.
Mereka akan  berangkat pagi hari  yang dimulai dari kampung kecil dipinggir hutan.
***
Pagi hari di tempat persembunyiannya Tun Awang dan ketiga orang Rusia telah bangun.
dan memasak bubur lagi. Api yang telah padam baranya dinyalakan.   
Tun Awang pergi ke sumber air didekat itu, dan Ednovokia sudah mengingatkan meski itu air dari mata air harus dimasak dulu. 
Nazarev membuat 
kayu yang panjang dan lurus, dan tidak mudah patah. Ia membelah ujungnya menjadi tiga dan menajamkan masing-masing bagian belahan dengan pisau. Untuk menangkap ikan atau ular, katanya.
Ia ingin mengenali tempat itu dan tidak berani jauh berjalan. Hal hal pokok cukup tersedia seperti makanan dan beras untuk beberapa hari. 
"Tapi kita harus berhemat.'"  Kata Sheyna.Semuanya setuju.
Mereka terus berjaga, takut akan patroli Jepang. Kelelahan masih tampak diwajah mereka karena kurang tidur.
Mereka memeriksa sekelilingnya, buah buahan hutan apa yang bisa dimakan.
Namun pada sore hari, dari tempat itu tampak sesuatu yang luar biasa.
Kapal perang Jepang terlihat meninggalkan Natuna. Mereka melihat bersama sama dari tempat mereka yang tinggi.
"Kapal perang Jepang pergi," kata Sheyna dengan gembira.
"Jangan gembira, mungkin hanya sementara dan nanti kembali lagi," Ednovokia masih kawatir.
"Bisa jadi Jepang masih disana, tidak semua pergi dan kita masih dalam bahaya," Ednovokia masih saja dengan  kekhawatirannya.
"Kita akan buktikan besok, pergi ke kampung kecil di pinggir hutan.Saya akan pergi mencari informasi." Tun Awang bereaksi.
"Sebaiknya kita pergi bersama." Sheyna mengusulkan.
"Biarkan saja aku yang pergi." 
"Bagaimana kalau kamu tersesat atau tidak kembali?"
"Aku akan kembali!"
"Kalau ditangkap Jepang, kau tidak bisa kembali."
"Percaya saja." Tun Awang meyakinkan.
Setelah berdebat, panjang mereka akhirnya  setuju pergi bersama dan akan menanggung resiko bersama.
Tertangkap Jepang dan itulah resikonya.
Malamnya mereka menatap kelaut dan pantai. Tak ada lampu sorot kapal perang Jepang yang biasa berpendar pendar di pantai.  
Mereka melihat pantai tetap sunyi 
Malam itu mereka dapat tidur dengan nyenyak dan akan pergi untuk memastikan Jepang betul betul pergi.
Pagi menjelang, semuanya berkemas. Dengan hati hati berangkat ke kampung kecil tempat terakhir mereka tinggalkan.
Mereka menatap goa yang telah memberikan mereka tempat selama dua malam. Sheyna sampai menghapus air matanya yang berlinang.
Kegembiraan mereka bertambah ketika ditengah perjalanan, mereka bertemu dengan penduduk melayu  Natuna yang mencari mereka.
Dengan saling mengucapkan salam, pecahlah kegembiraan diantara mereka. Gembira mewarnai pertemuan itu.
Perjalanan pulang  menjadi ringan.
Nazarev, Ednovokia dan Sheyna langsung pergi ke Rumah Limas tempat pelaut. Rekan mereka menyambut  gembira .
***
Kehidupan pelaut kembali kepada rutinitasnya. Piket di batu Rusia kembali diaktifkan. Pelaut  keladang dan menangkap ikan dan mencari kerang.
Pada suatu hari, pelaut Rusia yang memantau di pantai melihat sesuatu yang luar biasa.
Para pelaut Rusia melihat  sebuah perahu besar dan gagah. Perahu itu tampak indah dan anggun dengan layar besarnya yang terpasang 3 buah dihembus angin.
Tidak ada mesin, tapi melaju dengan kencang.
Para pelaut Rusia melambai lambai, lambaikan tangan dibalas oleh beberapa awak kapal dengan bersahabat. 
Mereka memasuki muara. Pelaut Rusia mengikuti dengan antusias.
Lalu perahu itu merapat kedaratan.
"Kami minta izin mendarat." salah satu pelaut dengan bahasa Belanda berbicara.
Pelaut Rusia berpandangan, ketika orang melayu itu bisa berbahasa Belanda dengan baik. Pelaut melayu juga', mereka mungkin menduga pelaut itu orang Belanda.
Kesalah pahaman itu segera diluruskan.
Mereka membalasnya dengan bahasa Inggris.
"Kami Rusia, senang menyambut anda disini," kata pelaut Rusia.
Pelaut melayu yang berbadan tegap itu juga tidak kalah herannya.
Biasanya ada tentara Belanda yang menenteng senjata laras panjang, tapi kini orang kulit putih yang berpakaian tidak rapi. 
Pembicaraan itu menjadi ramah, mereka minta berjumpa dengan Datuk Kaya. Ada beberapa komoditas yang mereka bawa untuk Datuk.  Pelaut itu mengatakan mereka dari Kalimantan.

Komentar
Posting Komentar