31 Natuna : Bahaya di Dilaut

ulau Kalimantan berjarak ratusan mil dari Natuna. Perahu kecil itu meluncur ke tenggara. Salah satu pelaut Melayu terus-menerus memimpin, mengawasi layar dan meneriakkan waktu yang ditunjukkan oleh jam air.

Jam air adalah penemuan orang Melayu. Mereka bekerja dalam cuaca yang tenang dan badai.

Sebuah tempat yang terbuat dari bambu tebal, setengahnya diisi air.

Batok kelapa yang dikerok dan dipoles mengapung di dalamnya. Sebuah lubang telah dibor di sisi yang lebih berat. Ketika cangkang berada di dalam ember, air mengalir ke dalamnya dalam aliran tipis, yang secara bertahap mengisi cangkang.

Ukuran lubang dihitung sehingga tepat satu jam kemudian cangkang tenggelam, dan ini diulang dari jam ke jam. Waktu dihitung dari matahari terbit sampai terbenam. Itu adalah waktu dan juga mungkin juga kompas pembantu pelaut melayu.


Pelaut Rusia mengamati dengan penuh minat kompas Melayu, yang terletak di cekungan lingkaran kayu besar yang mengapung di air.


Hari-hari cerah, selama pelayaran dan hanya di ujung jalan datang badai yang sedikit kuat. Awalnya, dari suatu tempat di kejauhan, angin sepoi-sepoi menyapu. Tapi bertambah lama bertambah kuat.

Ada tanda tanda badai dan angin tornado kecil yang disebut orang Natuna sebagus angin puting beliung.

Angin itu berputar putar dan udara mendung. Angin kencang sangat terasa.

Salah seorang pelaut naik keburitan dan mulut mereka komat kamit mengucapkan sebentuk doa.

Mungkin secara kebetulan, angin yang bergulung gulung itu segera menjauh dari kapal.

Perahu itu berlayar dengan kencang ditiup angin menerjang ombak yang mulai membesar.

Lalu tiba tiba laut berubah menjadi ganas. Para pelaut melayu dengan cepat menurunkan layar.

Segera angin kencang datang, kilat menyambar. Menjadi gelap dan dingin. Laut menjadi abu-abu. Angin semakin kencang setiap menit, perahu-perahu Melayu bedar itu terombang ambing.

Sheyna dan puluhan pelaut menahan napas. Meski mereka sudah biasa dilaut, namun berlayar dengan kapal perahu layar seperti ini adalah pengalaman baru bagi mereka.

Dilingkupi kecemasan melihat alam yang ganas, mereka seperti sabut kelapa di lautan bergelombang dipermainkan benda ombak.

Tiang-tiangnya berderit, layarnya diamuk dan dipenuhi angin kencang. Ombak menuangkan semprotan air dingin ke atas para pelaut. Air masuk ke perahu menimbulkan ketakutan mereka semua. Mereka membantu membuang air kelaut dan menjaga tidak terlempar kelaut yang menggila.

Namun para pelaut Melayu itu tenang saja, begitu pula nakhoda mereka. Perahu itu dikemudikan secara manual. Bergerak ditengah gelombang dengan gerakan stagnan.

Tapi kemudian ada perintah tiba-tiba dari sang nakhoda, dan orang-orang Melayu itu bergegas mencari keseimbangan. Ombak besar dengan suara dan raungan menggulung perahu. Perahu itu seperti akan lenyap

Sepertinya perahu-perahu itu akan ditelan oleh laut dalam. Namun para pelaut melayu dengan sigap menjalankan perahu.

Beberapa detik kemudian, memotong ombak yang berbusa, perahu-perahu itu kembali membubung di puncak ombak dan, memotong buih, bergegas maju. Selamat dari hempasan gelombang dengan tak kurang suatu apa.

Udara dipenuhi dengan semburan air seperti asap yang menggantung di atas laut.

Dan saat fajar matahari menyinari laut, angin sudah mereda. Ombaknya masih naik tinggi, tapi amukan mereka lambat laun melemah.

Perahu berperilaku indah di malam badai, membangkitkan kekaguman yang tulus bagi para pelaut Soviet.

"Pengalaman yang mendebarkan.Saya kira ini sekali seumur hidup." Ujar Pelaut.

"Seperti ada yang melindungi di laut, lihat ketika ada ombak sangat besar. Ketika kita merasa akan tenggelam, perahu itu mengapung dengan cepat dan selamat dari ombak besar."

Segera sebuah pulau kecil berbatu muncul. Nakhoda mengarahkan kapal ke arahnya, dan kapal mendarat ke garis pantai.

Beberapa menit kemudian, mereka mendarat. Pulau yang masih asli dan udara mulai cerah.

"Tidak berserakan, tidak tersesat di laut. Pelaut Melayu yang hebat! " seru Baidakov.

Mereka mendarat di pulau kecil itu.
Para pelaut menikmati air dingin dari pulau. Kemudian beristirahat, mengisi kembali air, kelapa, dan mengumpulkan telur penyu, dan membuat telur orak-arik yang sangat baik.

Mereka terpesona melihat penyu besar didarat. Malam itu banyak kura kura dan mereka bermain dengan binatang lucu dan lamban itu.

Mereka makan dengan nafsu makan yang besar setelah beberapa hari setengah kelaparan.

Usai beristirahat, para pelaut itu terus berlayar ke Kalimantan.

" Kalimantan tidak jauh, " jelas Tun Awang setelah berbincang bincang dengan pelaut melayu.

Layar besar lurus seperti capung, memiliki bentang yang lebar ditiup angin sepoi sepoi.

Beberapa hari setelah mereka berlayar, mereka akhirnya sampai di Kalimantan.
Perahu-perahu itu memasuki teluk, dan kemudian mulai naik ke sungai.

Sungai, berbelok tajam, mengalir di antara tepian dataran rendah, yang merupakan dinding tebal pohon bakau dengan akar udara.

Sesekali terputus oleh gundukan pasir, lalu surut, mendekati air.

Pohon yang tinggi tampak hijau di kejauhan. Di sana-sini di sepanjang pantai ada perkebunan kopi, pohon karet dengan potongan putih di kulit kayu, dan cangkir yang digantung di pohon karet.

Mendekati sebuah kota, mereka berlabuh. Pemerintahan Melayu telah tiba. Dia telah membawa para pelaut Rusia dari kapal perekopa yang ditenggelamkan oleh Jepang, 

Para pelaut memperhatikan tiang-tiang tinggi stasiun radio. Menunjuk suatu tempat, 

" Lihat,  radio! Sekarang kita bisa memberi tahu tentang diri kita ke Rusia".

Bagi para pelaut yang ceria, hari kepulangan mereka ke tanah air sudah dekat.
Namun masalah belum berhenti.

 Ketika mereka mendarat, sekelompok tentara Jepang menangkap mereka.

Segera saja interogasi yang sama mulai terjadi.

"Kami adalah pelaut kapal dagang Rusia yang kapalnya ditenggelamkan Jepang."

Orang Jepang itu memeriksa mereka satu persatu. Tapi Kapten yang memeriksa mereka kesulitan berbahasa Inggris. Tampaknya ia kurang pandai berbahasa Inggris. Namun bahasa melayunya bagus sekali.

Tentu saja ini menimbulkan kesulitan, ketika menginterogasi orang Rusia. Munculnya. Tun Awang membuat semuanya lancar.

"Anda orang melayu, mengapa anda disini?" Setelah tanya jawab selesai, Kapten Immamura bertanya kepada pemuda melayu itu.

"Saya bersama orang Rusia, saya penterjemah,'" jawab Tun Awang.

Jepang itu mengangguk dan berkata.

"Sebenarnya anda bebas, kami hanya  menahan orang Rusia,  anda boleh pergi setelah ini." 

Namun Tun Awang meminta untuk terus mendampingi. 

"Jadi kami ditawan?" Tanya Kapten Demidov. 

" Rusia tidak bermusuhan dengan Jepang. Anda semuanya harus membebaskan kami!" Agak keras suara Kapten Demidov.

Tun Awang menterjemahkan perkataan Kapten Demidov. Alis mata Kapten Immamura terangkat.

"Ini perang, anda akan disatukan dengan tawanan Rusia lainnya."

Ketika hal itu diterjemahkan Tun Awang, semua pelaut terkejut.

Apakah Budarin juga menjadi tawanan?  Apakah mereka akan berjumpa?  Hal yang tidak diduga. Semuanya menunggu dengan hati berdebat debar. Perjumpaan dengan Budarin.

Kapten Jepang itu tidak keberatan 
ketika Tun Awang ingin mendampingi orang Rusia. mungkin mereka merasa terbantu. 

"Bisakah saya disini terus? Saya tidak punya siapa siapa dan tidak kenal daerah ini." Kata Awang.

" Tidak bisa. Tawanan kulit putih tidak boleh dicampur. Rumah.ttahanan bukan wewenang saya."

"Biarkan saya membantu!" Tun Awang berkeras.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Budaya Jepang dan Amerika

13 Cerita Anak-anak yang Menyenangkan Dari Seluruh Dunia

PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI DAN PERANAN MAEDA