1 Goodnovel ; ANNA
Namaku Lily Diana Hanasari. Terlalu panjang menurutku. Aku benci nama panjang. Tidak suka juga jika temanku memanggilku Lily.
Aku suka dipanggil Anna saja. Pendek dan singkat. Menurutku itu manis.
Ibuku memanggilku kadang kadang si Upik. Mungkin itu nama kesayanganku. Sering juga suka menyebutku si burung kutilang.
Karena suaraku katanya nyaring seperti burung kutilang. Meracau ke mana mana. Lebih cocok juga jadi penyanyi. Tapi aku tahu, aku tidak berbakat. Aku tidak suka jadi penyanyi.
Aku pulang memberi tahu ibu seperti bersenandung.
"Aku pula..aang." suaraku bergema dirumah kecil yang cuma punya 2 kamar.
Ibuku melihat keluar.
'"Eh, si Upik sudah pulang! Terlambat lagi, ke mana saja?"
"Pergi bersama si Enny temanku." Jawabku sambil memcomot tempe yang digoreng baru di masak
"Atau si Munaf?"
"Si Munaf itu kakaknya. Aku pergi bersama adiknya."
"Bersama kakaknya tidak apa, anak camat itu ganteng dan sopan. Ibu suka."
"Kenapa ibu suka kepadanya ''? Atau getol sekali menjodohkanku? Mempadan padankan orang?"
"Alah kamu ini, sudah berapa umurmu? 19 tahun. Nanti keburu tua lho?"
"Jadi tua asal kaya." Kataku.
"Apa kau bekerja kau bisa jadi kaya?" Ibu menyindirku karena aku selalu nyinyir ingin kekota. Untuk bekerja.
"Tentu bu, aku lulusan sarjana. Akutansi. Bekerja di perusahaan besar, jadi sekretaris atau apa saja. Tulisanku bagus. Halus dan kasar kata ibu tulisanku menakjubkan. Bos bos suka dengan orang punya tulisan bagus dan orang cantik"
"Jadi kamu cantik?"
"Iyalah. Bukankah ibu bilang aku cantik, temanku juga mengatakan itu." Aku nyinyir itu tentu saja hanya pada ibu. Bagi semua orang kecuali teman, aku adalah seorang pemalu.
"Cantik kalau kau rapikan gigimu!"
Ibuku merapikan gigiku pakai behel gigi.
Aku berterima kasih kepada ibuku karena memperhatikan aku.
Sejak kecil aku membayangkan diriku adalah Cinderella yang kawin dengan pangeran.
Di sebuah pesta aku meninggalkan sepatu kacaku ketika jam berdenting 12 kali.
Sang Pangeran berlari dan berlari sementara aku sudah pergi dengan kereta kuda kencana.
Sang pangeran terus mencariku dengan sepatu kaca ditangan.
Ketika pangeran bertemu aku, akhirnya aku hidup kaya bergelimang kemewahan di istana.
Aku berterima kasih kepada Peri Labu yang merubah kereta kuda kencana pergi ke istana mengikuti pesta. Peri Labu mendandaniku sangat cantik.
Dongeng Cinderela dengan segala pernik perniknya begitu menarik bagiku.
Juga cerita dongeng pangeran tampan yang datang dengan kuda putih.
Pangeran tampan mengulurkan tangan mengajakku pergi kesuatu tempat. Ia mengajak keistana yang indah dan besar.
Hidup bergelimang dengan kemewahan.
Tapi dongeng itu tentu saja tak pernah terjadi. Aku tetap dengan kesendiriannya menjadi wanita yang pemilih. Karena sang Pangeran itu belum datang.
Apakah nanti sang Pangeran datang, berbentuk putra pemilik perusahaan besar dan kaya atau pria dengan mobil mewah yang berkecukupan?
Hartanya tidak pernah habis atau malahan terus bertambah.
Kapankah itu terjadi. Salahkah jika aku memimpikan itu?
Aku cantik dan telah menamatkan pendidikan tinggiku.
Namun pekerjaan tidak kunjung datang. Aku tinggal dikota yang hiruk pikuk dengan segala kemewahannya. Kemewahan tidak menghampiriku. Aku ingin mengecapi kemewahan itu dan aku tidak tahu caranya.
Sekarang itu sudah terjadi. Aku tinggal disebuah apartemen yang cukup megah dengan perlengkapan yang serba lengkap. Pekerjaan yang cukup menjanjikan, dan Pangeran ?
Tidak ada Pangeran. Aku belum pernah jatuh cinta yang sesungguhnya. Aku masih ingin berjumpa seorang Pangeran yang nantinya membawaku ke istana.
***
Aku ingat bagaimana dulu aku menjalani hidupku.
“Sekarang aku beruntung, memiliki pekerjaan, tempat tinggal, Dan seseorang crazy rich yang menghidupiku dengan caranya sendiri. Itulah aku kini.
Benar, tapi pangeran itu bukanlah pria tampan yang selalu kuidamkannya. Dia hanyalah seorang lelaki baya yang kaya dan peduli padaku.
Lelaki itu juga peduli dengan istri dan mungkin juga anaknya, di tempat lain.
Seorang putra dewasa dari pernikahan pertamanya yang mungkin lebih tua dari diriku.
Aku adalah gadis simpanan yang disembunyikan. Aku menjalani hidup seperti itu untuk sebuah kemewahan.
Sebelumnya aku telah menerobos semua jenis kantor selama setahun untuk mencari pekerjaan. Aku setuju untuk bekerja apa saja, korektor, sekretaris, dan apapun .
Dan ketika putus asa, aku memohon pada salah satu staf perusahaan untuk menolongnya bekerja apa pun. Lowongan kerja yang sangat ia butuhkan.
Lelaki itu tertawa di depan wajahku dan aku berhasil bekerja sebagai asisten junior di salah satu perusahaan selama sebulan penuh.
Aku bekerja dengan rajin dan mencoba untuk berhasil. Aku bertahan , sebisa mungkin, menghindari perhatian yang terus-menerus. Godaan dan pelecehan.
Alih-alih bekerja, aku diundang ke hotel. Aku bukan gadis seperti itu. aku tidak pernah meladeni lelaki gendut itu.
Aku menjaga kesucianku.
Karierku sebagai asisten Junior segera berakhir. Dengan berbagai alasan dan ancaman aku berhenti bekerja dan harus mulai lagi dari awal.
Meringkuk di pojok sebuah kafe kecil di seberang jalan dari kantor, aku diam-diam menangis. Aku dikatakan cantik, tapi bisa juga aku mengutuk kecantikanku. Lelaki ingin mereguk sesuatu dari diriku. Aku belum akan memberikan.
Direstoran itu, aku hanya memesan minuman kopi dan makanan ringan, karena duduk begitu saja, tanpa memesan apapun di restoran tidak diperbolehkan.
Mulai saat ini, aku harus mencari pekerjaan lagi. Aku tidak dapat mengandalkan ibuku dan uang pensiunnya yang kecil, dan aku tidak akan mendapatkan pekerjaan yang kusukai di desa.
Tanpa kusadari, kenangan tahun-tahun sekolah yang menyenangkan bergulir, ketika aku tampak seperti anak manis dengan hidung mancung dan lutut putih dan muka yang bercahaya bermain tanpa memikirkan apa apa .
Aku tetap saja menarik meski dilengkapi dengan plat gigi, karena kawat gigi terlalu mahal untukku dan ibuku peduli merapikan kecantikan anak gadis kesayangannya.
Suatu hari, aku akan menikah, ibuku suka. Tetapi pada saat itu, tidak ada anak laki-laki yang kusukai.
Ada yang mengajakku dan mengundangku pada kencan pertama. Tapi aku mengabaikan.
Tidak seperti gadis-gadis lain, aku senang dengan keadaan itu, tidak punya pacar dan belum mengenal lelaki diumur 16 tahun.
Sesudahnya aku benar-benar terkejut ketika, pada usia tujuh belas tahun, di salah satu sesi, guru mengelus lututku dan menyarankan pertemuan dalam suasana yang lebih intim.
Kemarahanku sampai ke ubun ubun. Aku tak pernah melayani dan terlalu takut untuk bertemu dengan guru pembimbingku itu.
Itulah pengalaman menakutkan melewati masa gadisku. Aku membayangkan guru pembimbingku yang punya anak dan istri menggodaku.
Menyeka maskara dari pipiku setelah sebagian lagi habis karena menangis, aku tidak langsung memerhatikan bagaimana seorang pria duduk di mejaku.
Ia melangkah dengan sopan dan mulai berbicara.
"Maaf, boleh berbicara sebentar?" tanyanya pelan dan sopan. Pertama kali aku tidak suka, tapi aku melihat tidak ada pandangan kurang ajar dari matanya.
Tidak ada jeleknya juga aku berbincang dengan lelaki itu. Mungkin ada sesuatu yang penting dan bagiku yang penting saat ini pekerjaan.
Hatiku berdetak ketika mulai.
"Adik mencari pekerjaan?" Tanyanya ramah.
Tentu aku tidak semudah itu membuka keinginanku.
"Tidak juga," jawabku sedikit acuh.
"Oh, maaf. Tadi adik melamar pekerjaan." dia menundukkan kepalanya.
Komentar
Posting Komentar