Cinta Trisya 1-5

Trisya kembali ke rumah dan pergi ke kamarnya dengan hanya melepas sepatunya saja di kamar.

Pertama-tama dia melihat ke kamar kakaknya. Dia melihat bahwa kakaknya Yudha masih ada di kamar.

Trisya meletakkan dompet dengan uang di bawah bantal. Tidak ada lagi kekuatan untuk menghitungnya. Tidak ragu bahwa jumlah keseluruhannya ada di sana. Itu cukup untuk menyelesaikan masalah mereka.

Berputar di klub mewah sampai hampir tengah malam, dia kadang kadang menyalahkan diri sendiri karena mengambil jalur yang salah.

Sebagian dirinya merasa tidak berguna. Ia mendatangi lelaki itu dan meminta bantuan. Pilihan sudah dibuat. IyaTuhan, adakah yang lebih bejat selain menjual diri seperti ini ?


"Trisya," kakaknya berseru saat melihatnya sudah ada dirumah. Namun ia senang, Trisya sudah pulang lebih cepat dari yang diduganya.

Sekarang, suaranya sama sekali tidak seperti kemarin. Suara laki-laki yang bersalah.

"Saya menyusahkan kamu dan saya mengacaukan segalanya." Keluhnya lebih dari menyesali diri dari pada menyalahkan adiknya yang pulang malam.

"Saya mendapatkan uangnya," ujar Trisya dingin.

"Apa?!" Matanya membelalak.

"Bagaimana cara kamu mendapatkannya?"

Kakaknya menatap wajah Trisya selama beberapa detik. Seolah olah mencoba mencari tahu apakah ada sesuatu yang lain.

"Aku punya teman yang kaya, uang itu adalah pinjaman, mungkin aku akan bekerja untuk melunasinya."

Dia sangat tidak suka dengan pandangan kakaknya itu.

"Saya juga akan bekerja, saya akan menggantinya."

Dan ini, kakak lelakinya setelah kematian orang tua, menjadi orang terdekat kembali berdebat.

"Aku akan mengembalikannya sendiri."

Dia berdebat dengan Trisya untuk waktu yang lama, dan kemudian, memutuskan  pergi berdua kepada
orang-orang berbahaya itu.

Trisya berkata,

"Ini adalah jumlah terakhir yang bisa saya dapatkan. Ambillah dan jangan meneror kami lagi!"

Mereka terkekeh.

"Tentu saja tidak.Tidak ada yang mau main main dengan si Bung Robert!"

Dia  menyebut nama ini, para bandit itu tampak menarik diri, tegang. Mereka jelas takut padanya.  

Tapi dalam diri Trisya lelaki itu menimbulkan perasaan yang sangat berbeda. 

Kenangan  kemarin malam, ciuman kecil penuh sensasi,  sentuhan terampil yang meninggalkan perasaan campur aduk.

Bahkan sekarang, ketika ini hanya kenangan, Trisya  merasa kakinya menjadi lemas .

***
Hari ini, lelaki itu akan datang mengajaknya. Trisya akan pergi bersamanya.
Dia harus tampil beda, untuk menarik hati lelaki flamboyan itu.
Harus!

Sepanjang hari, Trisya  masih mencari pakaian yang cocok untuk dapat menarik hati lelaki itu, agar dapat menemukan tempatnya dalam diri lelaki itu. 

Beberapa kali dia  memeriksa lemari pakaiannya, biasanya Trisya cukup puas dengan jeans,  T-shirt atau pakaian tomboy yang menjadi favoritnya.

Tapi kini, sesuatu yang berbeda dibutuhkannya.

Akhirnya dia menemukan gaun yang tepat menantang dan seksi. Mandi, tata rias, gaya rambut, dia menghabiskan begitu banyak  untuk penampilannya hari itu.

3 hari, itu hari ini. Itulah perjanjiannya dan ia menunggu telpon dengan hati berdebar.

Pantulan di cermin, mematut diri, berjalan dengan bergaya dan segalanya mulai cocok dengan gadis dengan kulit cerah, rambut berkilau, dan sosok langsing. Dia akan  menarik perhatian semua orang, akan menarik perhatian Robert.
Dengan tas pakaian kecil, beberapa pakaian santai yang  dibawanya kalau menginap.
Ia tidak melihat kakaknya hari itu, dia juga merasa tidak perlu minta izin. 

Menunggu panggilan telepon itu berdering. Trisya  bergegas ke telepon. Ia hampir menjatuhkannya, dan baru kemudian punya waktu untuk melihat nama di layar.

"David"

Dia menghembuskan napas karena kecewa. 

Lelaki yang tidak diinginkannya.

"Trisya, maaf, kau tidak masuk kuliah, kenapa ? Aku juga akan mengatakan sesuatu, adakah waktumu?

Ia tak perlu menanggapi telpon itu. Ia memutuskan dengan kasar.

"Aku sibuk, jangan ganggu dan  telpon aku," dia menutup telpon genggamnya.

Telepon itu berdering lagi, tanpa henti.

Akan lebih baik jika tidak menjawab panggilan ini sama sekali. Lagipula, tidak ada yang perlu di  bicarakan dengan David. 

David adalah mantan. Dia adalah masa lalu dihatinya.

Kini dia  tidak ingin ketinggalan panggilan lain  yang sangat penting.

Tapi waktu berlalu - satu jam, dua, jam, tiga dan digantikan oleh turunnya malam.

Dan Trisya hanya duduk dengan gaun yang seksi dan telepon sunyi di tangannya.

Tepat ketika dia benar-benar tidak siap untuk pergi, telpon berdering. 

"Aku akan menjemputmu sepuluh menit lagi," kata Robert  singkat diujung telpon.

Dia tidak bertanya apakah dia  bisa?  Apakah dia bebas atau tidak. 

Berbasa basi atau menanyakan apa saja, lelaki yang angkuh. Seolah olah Trisya kini adalah miliknya yang harus ada setiap saat.

Dia muncul tepat sepuluh menit seperti jarum jam. Trisya  masuk ke mobil dan melihat lurus ke depan, menghindari tatapan matanya yang dingin :

"Kemana kita akan pergi?" Trisya ingin memecahkan keheningan dengan bertanya, setelah masuk ke mobil mewah miliknya.

"Makan malam! Temani aku makan malam," ujarnya pendek. Tapi pandangannya berhenti sesaat, melihat penampilan Trisya dengan teliti.

Ia menatap seperti Trisya itu aneh.
"Kau sangat seksi," ujarnya  kaku.

"Kamu suka?" Tanya Trisya bergaya.

"Tidak, aku suka penampilan kamu yang biasa biasa saja, penampilan anak kuliahan atau remaja yang mulai mengenal diri. Mengapa kamu tidak berdandan seperti itu?"

"Aku kira kamu suka wanita seksi, bukankah duniamu seperti itu!"
"Aku bosan dikelilingi wanita seksi, aku ingin sesuatu yang lain" ujarnya lagi.

Kata katanya itu menunjukan ketidak sukaan. Muka Trisya merah seperti kepiting direbus.
Lenyaplah sudah usahanya seharian  berdandan habis habisan dan ketakutan tidak tampak cantik.

Dia menatap Robert, lelaki angkuh itu dengan aneh.

Jari-jari panjang  yang dengan percaya diri mencengkeram setir mobil melarikan dengan kencang.
Ia terus melaju disebuah restoran yang mewah untuk kalangan berduit. 

Malam itu, Trisya makan malam  yang menyuguhkan pemandangan gedung-gedung tinggi di area bar dan area makan, yang dihubungkan oleh sebuah jembatan yang cantik.
Tata rias tempat makan berkelas disebuah tempat.

Makan malam remang remang diterangi cahaya lilin romantis. Ia menikmati makanan malam, makanan laut sampai berbagai makanan  cita rasa masakan Jepang dan eropa Beef Tataki, Roasted Bone Marrow, Seabass Polonaise dan Boneless Beef Ribs, serta Butterfish Tangine sebagai menu penutup.

Setelah itu naik lagi ke mobil.
"Kemana lagi kita?" lagi lagi Trisya yang bertanya.

"Pacaran." jawabnya pendek. Jawaban yang tidak diduga Trisya. Apa sebenarnya yang diinginkan lelaki itu. Pacaran, lelaki itu membimbing tangan Trisya dan seperti sepasang remaja berjalan dipinggir pantai.

Ia merengkuh Trisya dalam pelukan yang hangat, duduk dimana saja dipinggir pantai yang gelap diterangi cahaya bulan.

Beberapa pasangan didekat itu tampak saling berpelukan. Ia juga. memeluk Trisya dan membelai rambutnya. Ia mencium.Trisya dengan lembut dan hati hati.

"Mata kamu indah, juga kulit kamu', putih dan bersih" rayuannya terasa kaku.

Trisya menjadi tersenyum dengan cara lelaki itu memujinya. Lenyap segala gundah yang ada dihatinya. Ketika pria itu seperti, lelaki yang baru jatuh cinta.


Bab 6 Pacaran


Bab 6 Pacaran. 

Malam itu mereka persis sebagai pasangan kekasih yang memadu cinta. Melewati malam di pantai yang romantis  berpacaran seperti pasangan lain didekat itu.

Mereka berpelukan.  

"Aku tak pernah berpacaran, ada sesuatu yang hilang dimasa remajaku," ujar Robert.
"Jadi kita berpacaran sekarang? Anda suka seperti ini?"

"Aku duka seperti ini. Apakah kamu tidak suka?"

"Saya suka juga," jawab Trisya.

"Kalau begitu cium aku." Tantang Robert.
 Trisya menunduk malu, dia tidak akan mencium pria duluan. 

Trisya tidak mau mencium Robert, sebagai gantinya dia hanya  menyandarkan tubuhnya di tubuh Robert.

Lelaki itu yang lebih dahulu menciumnya. 

Trisya membalasnya dengan malu. Dia tidak terbiasa seperti itu.
"Kamu malu?" Tanya Robert Hadi yang mungkin mengharapkan ciuman yang bergairah.

Sekarang Robert Hadi mendekatkan bibirnya. Bibir kedua mereka bersentuhan. Aliran panas terasa ditubuh Trisya. Dia tidak juga membalasnya.

Robert mencari cari dan bermain didadanya. Trisya menpisnya.
"Ini tempat terbuka, aku malu." Bisik   Trisya.
'"Jadi kamu tidak sabar dan ingin tempat tertutup?"

Trisya sekali lagi malu. Wajahnya menjadi merah.
"Engkau ingin mengambil hak kamu?"
"Belum, tapi aku senang seperti remaja itu disini "

Robert melemparkan pandangan kepada sepasang remaja yang saling berciuman.

***

Bosan di pantai, mereka kembali kemobil sportnya. Mereka bergandengan tangan .

Robert sekali lagi mencium Trisya yang masih saja tidak siap.
Robert Hadi tidak kecewa. Semakin susah didapat semakin menantang. 
Dia ingin Trisya menciumnya, namun gadis itu selaku mengalihkan perhatian.

Setelah itu mereka pergi, masuk ke Jalan Tol. Ia mengemudi dengan cepat, meski tidak terburu buru. 

Disebuah tempat, Robert menyerahkan mobil sport itu kepada Trisya.

"Kamu.yang mengemudi," kata Robert Hadi  memberi ruang kepada Trisya. 

'"Apakah kamu serius?" Itulah yang tidak bisa Trisya  percayai.

"Aku tahu kamu suka ngebut, ayo perlihatkan kemampuanmu."

Pria yang dia temui beberapa hari yang lalu, hari ini memutuskan untuk menempatkan dia di belakang kemudi mobil yang lebih mahal.

Mobil sport yang bisa melaju dengan kecepatan tinggi.

"Apakah ini mobil yang Anda izinkan untuk saya kemudikan, Tuan Robert ? Kamu tidak takut.?"

"Aku tidak pernah takut dalam hidup ini, coba saja kalau kamu bisa."
"Aku bisa, aku suka mobil, sering ingin memacu kendaraan. Tapi aku tidak punya mobil sport."

"Engkau suka mobil dan ngebut, sama dengan aku." Ujar Robert pula.


"Aku ingin mengejar sesuatu dan ingin mendapatnya" kata Robert.

"Dan engkau mendapatkannya?"
"Tidak, tapi ada kepuasan setelah itu."

Kata kata Robert seperti teka teki, yang aneh. Tapi Trisya tidak terlalu memperhatikan.

Ia lebih tertarik berada di belakang kemudi dan menarik diri, terlalu tiba-tiba, lagipula mobil itu tidak biasa.

Dia membiasakan diri, mengemudi, lalu kencang, lebih kencang dan makin kencang  menginjak pedal gas sepenuhnya. Mobil itu melaju dengan kencang seperti melayang,  gigi empat, dan lima.

Trisya mengemudi dengan kecepatan tinggi, sampai dia sendiri merasa takut, tetapi dia  tidak bisa memperlambat sekarang, ada kepuasan dan rasa tertarik dan hentakan mobil menjadi  sensasi.

Dari sudut matanya dia sempat mengikuti Robert yang tertawa melihatnya.
"Kamu tidak takut?" 
"Kamu yang harus takut, apakah kamu bisa menguasai diri dalam kecepatan tinggi?"
"Aku akan mencobanya.:

Trisya melaju beberapa puluh kilometer dan menerbangkannya, masuk ke beberapa belokan,  adrenalinnya terpacu, jantungnya berdebar lebih kencang.

Dia tidak tahu berapa lama sebelum dia ingat di mana dia  berada, dengan siapa dan mengapa. 

Dan mengingat ini, dia memperlambat dan melepaskan setir dari tangannya.

"Terima kasih," katanya pelan, mencoba menenangkan timbangan emosi yang mendidih. 

"Itu keren. Benar-benar keren."

Robert  hanya tersenyum. Dan mungkin  kebiasaan, apakah itu  bagian dari sifatnya.

Dia lalu mengambil alih kemudi dan menjalankan mobil itu dengan kecepatan sedang.

Trisya  mengerti ada atmosfer di dalam mobil  balapan, kegembiraan, risiko gila - gilaan, Keheningan yang pekat, berat, sulit bernapas.

Dan dia baru saja menyadari dan kini bau parfum dan kulitnya, aroma pribadinya, yang tidak akan membingungkan dengan apa pun, telah menancap di lubang hidungnya.

Sekarang sesuatu akan dimulai nanti. Sesuatu yang sama sekali berbeda, tapi tidak kalah seru dari balapan ini.

Dia menatapnya dengan sembunyi-sembunyi, melalui bulu matanya, mendapati dirinya berpikir bahwa dia mengagumi lelaki itu yang tampak arogan, tapi sebenarnya sama saja dengan lelaki lain.

Lelaki yang butuh cinta, mencintai dan memerlukan seseorang. Trisya berharap, perempuan itu adalah dia.

Dia seolah-olah mencuri pandangan darinya. Ya, dia tampan. Trisya  tidak  mengalihkan pandangan darinya. 

"Aku sudah lelah," kata Trisya. 

"Aku juga," jawab Robert.

Robert menoleh padanya meletakkan tangannya di belakang kepala Trisya dan menarik ke arahnya.

Apakah Trisya ingin mencium lelaki itu? Tidak masalah sekarang, tidak masalah. Karena dia siap menerima apapun yang terjadi.

Lelaki keras dan angkuh itu kini terasa lembut di tangannya.

Dia ingin mengakui apa yang dia inginkan. Dan dia perlu mengambil langkah kecil ini.

Trisya  bergerak maju.Saat  batas kemandiriannya telah habis, dia mencium leher lelaki itu. 

Ciuman,  aroma tubuh lelaki itu dan dia  benar-benar tidak berhenti memikirkan tentang itu.

Saat bibirnya di leher Robert, Trisya  berhenti untuk mengatur napas.

"Apakah  itu akan terjadi sekarang?"

"Kamu mau sekarang?"

Trisya  mengangkat bahu dan kali ini benar. Trisya  benar-benar tidak tahu apa yang dia inginkan sekarang. 

Seringai berkedip di suatu tempat di sudut bibirnya.

"Kita bisa pergi ke suatu tempat."

Sekali lagi, ini terdengar buruk. Seolah-olah dia bertanya pada dirinya sendiri.

" Kemana kita lagi..'? " 

"Kota ini penuh dengan hotel dengan berbagai tingkat kemewahan."

"Kita bisa pergi kesana, sekarang."

"Baiklah, kita istirahat, aku mai istirahat," jawaban Robert menggantung.

Trisya tidak tahu maksud lelaki itu; tapi ia diam saja, sekali lagi dia mendengar  perkataan  bodoh.

Trisya belum tahu apa yang terjadi,  tetapi dia siap menerimanya - dengan mudah dan tanpa keberatan.

Mobil itu masuk dalam kota yang menjadi wisata di sana, menuju sebuah hotel mewah bergaya Suites Resort. Udara sejuk  pegunungan menerpa tubuh Trisya.

Keindahan gunung yang berdiri tegak dengan pemandangan alami.
"Aku mau mandi dan bersih bersih diri, lalu kita akan makan di restoran hotel"
Hati Trisya berdebar debar ketika masuk di hotel mewah itu.
Segala gayanya bagus dan cantik, suasana yang romantis membuat dia bergetar. 
Apakah sekarang dia akan kehilangan sesuatu yang selalu dipertahankannya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Budaya Jepang dan Amerika

13 Cerita Anak-anak yang Menyenangkan Dari Seluruh Dunia

PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI DAN PERANAN MAEDA